Layoff Massal di PBB, Krisis Global yang Mengancam Ekonomi Negara Berkembang!


Rabu, 04 Jun 2025 12:23 WIB
PBB menghadapi salah satu krisis keuangan terburuk dalam sejarah lembaga tersebut. Organisasi ini berencana memangkas hingga 20% tenaga kerjanya.
Foto: POOL GETTY IMAGES NORTH AMERICA/AFP/File
Jakarta -

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah menghadapi salah satu krisis keuangan terburuk dalam sejarah lembaga tersebut. Akibat kekurangan dana yang kronis, organisasi ini berencana memangkas hingga 20% tenaga kerjanya, berdampak pada sekitar 2.800 posisi dari total 14.000 pegawai yang didanai oleh anggaran reguler.

Langkah ini bukan hanya sinyal darurat bagi PBB sendiri, tapi juga menjadi alarm bagi perekonomian global, terutama di negara-negara berkembang yang selama ini menjadi penerima utama program-program vital dari lembaga internasional ini.

Akar persoalan ini bermula dari keterlambatan atau ketidaklengkapan pembayaran iuran oleh negara-negara anggota, termasuk Amerika Serikat, yang sejatinya menyumbang 22% dari total anggaran PBB. Pada tahun 2024 lalu, lebih dari 40 negara tercatat belum melunasi kewajiban iurannya secara penuh.

Sebagai respons, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menggulirkan inisiatif reformasi internal bertajuk "UN80", menjelang peringatan ulang tahun PBB ke-80 tahun depan. Program ini mencakup konsolidasi departemen, relokasi unit ke negara dengan biaya operasional lebih rendah, hingga pemangkasan sumber daya manusia dalam skala besar.

Namun, yang menjadi sorotan bukan sekadar reformasi administratif, melainkan dampak sistemik yang bisa ditimbulkan dari perampingan besar-besaran ini terhadap rantai ekonomi global.

Efek Domino terhadap Perekonomian Dunia

Seiring pemotongan staf dan pembekuan anggaran, sejumlah program PBB di bidang kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan berpotensi dihentikan atau dipangkas skalanya. Efeknya sangat terasa di negara-negara yang selama ini menggantungkan keberlangsungan sektor sosial dan kesejahteraannya pada program bantuan PBB.

Di negara konflik dan berkembang, seperti Sudan, Afghanistan, hingga Haiti, program distribusi pangan dari WFP, bantuan kesehatan dari WHO, dan perlindungan pengungsi oleh UNHCR, menjadi tulang punggung stabilitas sosial. Bila aktivitas ini terhenti, dampaknya bisa langsung terasa pada kestabilan ekonomi makro maupun mikro di wilayah tersebut.

Program bantuan yang berkurang juga berdampak pada tenaga kerja lokal yang selama ini bergantung pada proyek-proyek PBB sebagai sumber penghasilan. Pemangkasan ini berisiko memperluas angka pengangguran di wilayah rentan, menekan daya beli masyarakat, hingga memperbesar ketimpangan ekonomi.

Risiko Tak Langsung Namun Nyata

Bagi Indonesia, ancaman ini memang tidak terjadi secara langsung. Namun sebagai negara berkembang yang masih menjalin banyak kerja sama dengan badan-badan PBB, seperti UNDP, FAO, dan UNICEF, dampaknya bisa terasa dalam bentuk:

  • Penurunan bantuan teknis dan pendanaan proyek pembangunan berkelanjutan.
  • Terganggunya program kemanusiaan di daerah terpencil, termasuk Papua dan NTT.
  • Melambatnya kemitraan internasional dalam penanganan isu perubahan iklim, ketahanan pangan, dan pendidikan.

Dari sisi diplomasi ekonomi, PBB juga berperan sebagai penghubung kerja sama multilateral yang mendukung investasi lintas negara. Jika aktivitas diplomatik PBB menurun, kepercayaan investor terhadap mekanisme global bisa ikut tergerus, dan hal ini bisa berdampak pada arus modal ke negara-negara Global South, termasuk Indonesia.

Krisis di PBB ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah gagal bayar institusional bisa menimbulkan efek global dalam skala sistemik. Bagi pelaku usaha, terutama yang bergerak di sektor sosial, pendidikan, logistik bantuan, dan keberlanjutan, penting untuk membangun ketahanan operasional dan mencari kemitraan yang lebih beragam, termasuk dari sektor swasta.

Saat lembaga internasional mengalami kontraksi, peran dunia usaha dalam mengisi kekosongan peran sosial bisa jadi lebih relevan dari sebelumnya. Tidak hanya sebagai entitas ekonomi, tetapi juga sebagai agen pembangunan yang berkelanjutan.

Krisis yang dihadapi PBB menunjukkan bagaimana dinamika keuangan lembaga internasional dapat membawa dampak luas pada perekonomian global, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, penting bagi negara dan pelaku usaha untuk menyadari perubahan lanskap ekonomi global dan bersiap beradaptasi terhadap potensi perlambatan program internasional yang selama ini mendukung pertumbuhan di banyak sektor.

Saat peran lembaga global berkurang, peluang bagi kolaborasi lintas sektor dan pendanaan alternatif menjadi semakin penting. Ketahanan ekonomi tidak hanya dibangun dari dalam, tetapi juga melalui pemahaman terhadap dinamika global yang sedang berubah.

Bagi pelaku usaha, pengambil kebijakan, dan investor, ini saat yang tepat untuk memperluas perspektif dan melihat ekonomi sebagai ekosistem yang saling terhubung. Dalam ketidakpastian global, siapa yang lebih siap membaca arah angin akan lebih cepat menemukan pijakan baru untuk tumbuh.

Ingin tahu lebih banyak insight seputar bisnis dan perekonomian yang relevan dengan kondisi saat ini? Kunjungi kanal bisnis FYB detikcom di FYB detikcom dan temukan berbagai perspektif menarik yang bisa bantu kamu membuat keputusan lebih cerdas dalam dunia usaha.

(Sheren/zlw)