Pemerintah sibuk kampanye digitalisasi UMKM, mulai dari pelatihan marketplace, insentif iklan digital, sampai kemudahan akses permodalan berbasis aplikasi. Semua demi satu tujuan yaitu memperkuat ekonomi rakyat dari bawah lewat teknologi.
Tapi di waktu yang sama dan di ruang digital yang sama situs-situs judi online justru makin menggila. Transaksinya mengalir deras, promosinya tak kenal waktu, dan jaringannya makin sulit diberantas. Kesenjangan ini nyata.
Di tengah upaya pemerintah mendorong percepatan digitalisasi UMKM, ada ironi besar yang tak bisa diabaikan, laju transaksi judi online justru melaju lebih cepat. Alih-alih memfasilitasi pertumbuhan ekonomi produktif, ruang digital kita justru ikut menopang ekonomi spekulatif yang tidak sehat.
Baru-baru ini, mencuat kabar soal dugaan aliran dana dari para pelaku situs judi online yang disebut-sebut menyetor Rp 8 juta per situs untuk "biaya perlindungan". Menurut informasi yang beredar, uang tersebut mengalir ke sejumlah pihak termasuk pejabat tinggi.
Jika benar, ini bukan hanya persoalan hukum tetapi juga soal ketimpangan ekonomi digital yang makin terasa di lapisan akar rumput.
Uang yang Harusnya Jadi Modal, Malah Mengalir ke Dunia Maya Ilegal
Bagi pelaku UMKM, modal Rp8 juta bisa berarti banyak hal: menambah stok barang, memperbarui kemasan, atau mengiklankan produk secara digital. Tapi di ekosistem digital saat ini, jumlah yang sama justru mengalir ke operasional situs-situs ilegal.
Dengan dana sebesar itu, situs judi online tak hanya mampu terus beroperasi, tapi juga menjangkau konsumen dengan iklan yang agresif. Mereka menyusup lewat media sosial, situs streaming, hingga iklan berbentuk pop-up di platform gratisan.
Hasilnya? Atensi publik tersedot ke aktivitas spekulatif, bukan ke aktivitas produktif.
Daya Beli Melemah, Rantai Konsumsi UMKM Terganggu
Yang jadi korban bukan hanya pelaku UMKM, tapi juga konsumennya. Judi online menyasar segmen masyarakat yang rentan secara ekonomi, mereka yang berharap bisa "cepat kaya" dengan jalan pintas.
Uang belanja harian, bahkan pendapatan hasil usaha kecil, kerap dialihkan untuk bermain judi online. Dalam jangka panjang, pola ini melemahkan daya beli masyarakat. Ketika uang habis untuk hal yang tidak produktif, sektor ritel dan perdagangan mikro pun merasakan dampaknya.
Rantai konsumsi terganggu, dan UMKM yang menggantungkan hidup pada transaksi harian jadi lesu.
Digitalisasi Tidak Cukup Jika Ekosistemnya Tidak Sehat
Pemerintah melalui berbagai kementerian terus mendorong UMKM untuk go digital. Namun, digitalisasi saja tidak cukup. Ketika ruang digital dipenuhi aktivitas ilegal dan tidak diberantas secara serius, maka pelaku usaha kecil berisiko kalah bersaing, bukan karena kualitas produk, tapi karena kalah dalam merebut atensi konsumen.
Padahal, ekosistem digital yang sehat seharusnya berpihak pada pelaku ekonomi riil, bukan yang merusak. Sebab dalam ekonomi digital, yang paling mahal bukan cuma data atau bandwidth, tapi perhatian konsumen. Dan saat ini, perhatian itu banyak tersedot ke iklan slot dan jackpot.
Mendorong Ruang Digital yang Lebih Adil
Isu judi online bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal distribusi sumber daya. Jika ratusan miliar rupiah setiap tahun terus mengalir ke sektor yang merusak, maka ekonomi riil akan terus kehilangan tenaga untuk tumbuh.
UMKM tidak hanya butuh pelatihan dan bantuan promosi. Mereka juga butuh perlindungan struktural dari ekosistem digital yang tidak sehat. Penegakan hukum yang konsisten dan komitmen pemberantasan judi online bisa menjadi bagian dari strategi nasional dalam memperkuat ekonomi rakyat.
Karena pada akhirnya, ekonomi kita tidak akan tumbuh hanya dari konsumsi, tapi dari produksi. Dan pelaku UMKM adalah ujung tombak produksi itu. Jangan sampai semangat wirausaha mati perlahan, karena uang lebih mudah habis di meja judi daripada di gerai dagang.
Ingin tahu bagaimana membangun bisnis mikro dengan strategi digital yang sehat dan berkelanjutan? Temukan insight seputar bisnis dan ekonomi menarik lainnya diĀ FYB.detik.com
(Sheren/zlw)