Para pelaku usaha kini perlu lebih cermat. Sejak Oktober 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerapkan aturan baru yang memungkinkan penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak elektronik bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak tertib melaksanakan kewajiban perpajakan.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang Tidak Melaksanakan Kewajiban Sesuai Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perpajakan.
Aturan tersebut berlaku efektif mulai 22 Oktober 2025, dan menjadi bagian dari implementasi Coretax 2025, sistem administrasi pajak terintegrasi yang menandai era baru digitalisasi fiskal di Indonesia.
Pengusaha berstatus PKP perlu segera memahami aturan ini. Jika akses Faktur Pajak diblokir, perusahaan tidak dapat menerbitkan faktur, sehingga penagihan, pelaporan PPN, hingga arus kas bisnis bisa tertahan.
Untuk mengaktifkan kembali, wajib pajak harus melakukan klarifikasi ke KPP, menyerahkan dokumen pendukung, dan menunggu proses verifikasi-yang jelas membutuhkan waktu.
Animasi Tidak Bisa Terbitkan Faktur/ Dok : CV Solusi Kita |
Digitalisasi Pajak: Langkah Serius DJP di Era Coretax 2025
Langkah DJP bukan tanpa alasan. Melalui program SIAP (Coretax 2025), pemerintah berupaya menyatukan seluruh data perpajakan mulai dari SPT, faktur, hingga bukti potong ke dalam satu sistem terpadu. Tujuannya sederhana: membangun kepatuhan yang adil berbasis data nyata.
Dalam praktiknya, Coretax memungkinkan DJP menilai kepatuhan wajib pajak secara otomatis. Sistem ini memantau perilaku pelaporan, keterlambatan, serta kesesuaian antara pajak keluaran dan masukan secara real-time.
"Sistem baru ini membuat pengawasan lebih cepat dan akurat. Bagi wajib pajak yang tertib, ini justru menguntungkan karena proses administrasi makin efisien," jelas Irwansyah A.S., Konsultan Pajak Eks-DJP dan Alumni STAN dari CV Solusi Kita, Bandung.
Mengapa Akses Faktur Pajak Bisa Dinonaktifkan
Dalam dunia bisnis, Faktur Pajak adalah nadi transaksi. Dokumen ini menjadi dasar pengkreditan Pajak Masukan bagi pembeli dan bukti pungutan bagi penjual.
Jika akses pembuatan faktur dinonaktifkan, pengusaha otomatis tidak bisa menagih pelanggan-efeknya langsung terasa pada cash flow perusahaan.
Menurut Irwansyah, kebijakan ini sesungguhnya bukan bentuk hukuman, melainkan alarm dini bagi pelaku usaha.
"Langkah DJP ini pengingat agar pengusaha tidak menunda kewajiban. Kalau akses faktur dibekukan, itu berarti ada yang belum beres. Dampaknya langsung ke likuiditas bisnis," ujarnya.
Foto Konsultasi Khusus/ Foto: Dok : CV Solusi Kita |
Pasal 2 PER-19/PJ/2025 menjelaskan kriteria PKP yang berpotensi dinonaktifkan aksesnya, antara lain:
• Tidak melakukan pemotongan/pemungutan PPh selama 3 bulan berturut-turut.
• Tidak menyampaikan SPT PPh Tahunan yang sudah jatuh tempo.
• Tidak melaporkan SPT Masa PPN selama 3 bulan berturut-turut atau 6 masa pajak dalam 1 tahun.
• Tidak melaporkan Bukti Potong/Pungut selama 3 bulan berturut-turut.
• Memiliki tunggakan pajak tanpa persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran.
Ambang batas tunggakan juga diatur: ≥ Rp 250 juta untuk PKP KPP Pratama, dan ≥ Rp 1 miliar untuk PKP Madya/Khusus.
Ketentuan ini menjadi dasar bagi DJP untuk menonaktifkan akses Faktur Pajak berdasarkan data kepatuhan yang terekam otomatis di Coretax 2025.
Contoh Kasus: Ketika Akses Faktur Tiba-tiba Terkunci
Bayangkan sebuah perusahaan fiktif, PT Maju Bersama, yang lupa melaporkan SPT Masa PPN selama tiga bulan karena pergantian staf keuangan. Tanpa peringatan fisik, sistem Coretax menandai akun PKP-nya sebagai tidak aktif.
Ketika tim administrasi hendak menerbitkan faktur untuk pelanggan utama, muncul pesan di layar: "Akses Faktur Pajak Dinonaktifkan."
Dalam hitungan hari, penagihan tertunda dan pembayaran macet. Butuh hampir seminggu bagi perusahaan itu untuk melengkapi klarifikasi dan mengaktifkan akses kembali.
Kasus seperti ini mungkin sederhana, tapi bagi bisnis dengan arus kas cepat, tertundanya satu minggu saja bisa sangat berpengaruh.
Bagaimana Proses Penonaktifan dan Klarifikasi
DJP kini bergerak sepenuhnya digital. Begitu sistem mendeteksi ketidakpatuhan, surat pemberitahuan penonaktifan dikirimkan ke PKP secara elektronik, dan akses faktur langsung diblokir.
Namun, aturan ini tetap memberi ruang pembelaan. Berdasarkan Pasal 3 dan 4 PER-19/PJ/2025, PKP berhak mengajukan klarifikasi tertulis kepada KPP dengan dokumen pendukung seperti:
• tanda terima pelaporan SPT,
• bukti potong atau pungut, dan
• bukti pelunasan tunggakan pajak.
Sesuai Pasal 5, bila dalam 5 hari kerja DJP belum memberi tanggapan, akses faktur otomatis aktif kembali. Ini menunjukkan keseimbangan antara penegakan aturan dan perlindungan hak wajib pajak.
"Sekarang semua transparan. Kalau memang sudah melapor tapi belum ter-update di sistem, wajib pajak bisa langsung klarifikasi. Itu justru mempercepat penyelesaian," tambah Irwansyah.
Risiko Bisnis Jika Akses Nonaktif
Ketika akses faktur terblokir, dampaknya bukan hanya administratif:
• Transaksi penjualan tertunda, pelanggan tak bisa dikirimi faktur.
• Arus kas terganggu, pembayaran ikut tertahan.
• Risk scoring pajak menjadi merah dalam sistem Coretax.
• Potensi pemeriksaan meningkat karena dianggap berisiko tinggi.
• Reputasi usaha menurun, terutama di mata bank dan mitra yang memeriksa kepatuhan pajak sebelum kerja sama.
"Banyak pengusaha yang baru sadar pentingnya pelaporan tepat waktu setelah aksesnya diblokir. Padahal, hal seperti ini bisa dicegah dengan pengawasan internal yang sederhana," kata Irwansyah.
Langkah Praktis Agar Tetap Aman
Agar terhindar dari penonaktifan, CV Solusi Kita menyarankan hal-hal berikut:
• Laporkan SPT Masa PPN dan SPT Tahunan tepat waktu.
• Laporkan bukti potong/pungut setiap bulan.
• Hindari masa pelaporan yang "bolong" meskipun nihil.
• Segera selesaikan tunggakan pajak bila ada.
• Lakukan audit kepatuhan berkala minimal setahun sekali.
• Gunakan pendampingan profesional agar administrasi pajak lebih terpantau.
"Kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban hukum, tapi bagian dari tata kelola bisnis. Dengan tertib, perusahaan lebih dipercaya investor dan mitra," tutur Irwansyah.
Perlu Dibedakan: Kasus Faktur Fiktif
Sebagaimana ditegaskan Pasal 6 PER-19/PJ/2025, aturan ini tidak terkait dengan penerbitan atau penggunaan faktur fiktif. Penonaktifan yang diatur di sini bersifat administratif, untuk menertibkan pelaporan pajak, bukan untuk menghukum tindak pidana.
Artinya, pelaku usaha yang tertib tidak perlu khawatir selama kewajibannya dijalankan sesuai jadwal.
Menuju Era Coretax 2025
PER-19/PJ/2025 menjadi sinyal kuat bahwa pengawasan pajak di Indonesia memasuki babak baru. Sistem Coretax membawa prinsip data-driven compliance-di mana data transaksi, laporan, dan pelunasan saling terhubung. Tujuannya bukan menakuti, tapi mendorong budaya kepatuhan yang sehat.
"Kalau kita paham mekanismenya, aturan ini bukan ancaman. Justru kesempatan untuk memperbaiki administrasi sebelum terlambat," kata Irwansyah menutup perbincangan.
Artikel ini disusun oleh Tim CV Solusi Kita - Konsultan Pajak Bandung, sebagai bagian dari edukasi publik mengenai Coretax 2025.
Untuk konsultasi lebih lanjut, hubungi 0812-1588-1515 (CV Solusi Kita) atau kunjungi https://cvsolusikita.com/ untuk membaca pembahasan lengkap mengenai PER-19/PJ/2025 dan topik pajak lainnya.
Simak juga video pembahasannya di kanal YouTube CV Solusi Kita:

